Panci

Baru2 ini, aku pulang ke rumah.cukup lama.liburan.
Suatu pagi, seperti biasa, aku cuci piring. Cukup banyak (mengingat orang2 di rumahku makan dengan porsi yang biasanya di atas rata2). Ketika aku mencuci sebuah panci, tanpa sadar aku jadi merenung.
Pantat panci yang aku cuci sudah penuh dengan kerak, tebal sekali. Untuk membersihkannya, butuh waktu yang cukup lama dan usaha yang cukup keras, sampai tangan dan saput yang kugunakan untuk mencuci panci itu menjadi hitam.
Aku memikirkan panci itu tidak jauh berbeda dengan hati KU sendiri (entah untuk kalian).
Semakin sering digunakan, akan semakin hitam. Kerak akan menumpuk tebal seperti prasangka, curiga, sakit hati, iri, cemburu, dan perasaan2 buruk lain yang ada di hati. Semakin orang tumbuh dewasa, semakin banyak hal yang dia ketahui, dan sadar atau tidak, pengetahuan2 ini bisa menjadi suatu racun yang mengendap sebagai kerak di dalam hati, selain bisa menjadi sesuatu yang memperkaya. Seperti panci, kerak yang menumpuk di bagian bawahnya di satu sisi membuatnya semakin tebal dan kuat, sehingga tidak mudah berlubang. Racun di dalam hati seperti kerak, pedih, tapi mendewasakan, dan memang semua orang harus mengalaminya.
Lalu ketika berpikir lagi, tanganku dan saput yang kugunakan untuk mencuci panci bisa KU kaitkan dengan seseorang atau sesuatu yang bisa menjernihkan hati. Aku percaya ini fakultatif untuk setiap orang. Saat aku menggosok pantat panci yang hitam, berkali-kali, sampai keraknya hilang, aku memikirkan seseorang atau sesuatu yang bisa membersihkan segala macam prasangka dan racun lain yang ada di dalam hatiku. Rasanya begitu segar, dan bersih. Mungkin kalau panci bisa bicara, dia akan berkata begitu juga (mungkin). Tapi, saput dari kawat halus yang aku gunakan sebagai pembersih ini, sangat tajam. Begitu tajamnya hingga bisa membersihkan kerak yang menempel kuat pada panci. Setelah bertanya pada ayahku, "bisakah panci ini menipis?", jawaban ayahku, tentu saja. Saput itu membersihkan, sekaligus mempertipis lapisan panci. Seperti seseorang atau sesuatu yang membersihkan dan menjernihkan hatiku, sekaligus membuatnya menjadi lebih tipis dan rapuh, karena aku terbiasa ia jernihkan. Efeknya kontradiktif.
Suatu saat, apakah panciku akan berlubang? Karena, secara ironis, saput yang membersihkannya justru membuatnya semakin tipis. Lalu, apakah hatiku akan berlubang juga? meninggalkan luka yang entah bisa tertutup lagi atau tidak, karena penjernihku begitu tajam dan begitu mempengaruhiku. Semakin dekat dengan sesuatu, sesuatu itu semakin mudah masuk dan melukai hati.
Panci tidak bisa membersihkan keraknya sendiri, begitu juga hatiku yang membutuhkan keberadaan sebuah "saput".
Tapi, kenapa tak coba menemukannya?panci yang bisa membersihkan dirinya sendiri, seperti hati yang bisa sembuh dengan topangan diri sendiri.
Daripada memiliki seseorang yang bisa membuatku tergantung, apakah aku lebih baik sendiri namun bisa tegak berdiri sendiri?Mungkin jawabannya masih kucari.


(repost fb's post; 15 Juli 2009, 12:34) 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang Menengok Rumput Tetangga

Graduated

Graduate Student