Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2014

Bapak

"Sol sepatuku mangap. Dibilang buaya lapar sama teman-teman." Dia tak bereaksi, masih memandang lurus ke TV hitam putih, acara Dunia Dalam Berita yang wajib ditontonnya setiap hari. Aku tertunduk sedih. Meletakkan sepatu laparku di lantai, lalu pergi keluar, ikutan bermain kasti bersama anak-anak tetangga. Esok paginya, kutemukan sepatuku mengganjal meja dengan posisi ganjil. Kuambil sepatu itu, kukenakan tanpa kata-kata. Sepatuku tak lagi lapar, dia sudah makan selai nanas. Lem castol. Tanpa sepatah katapun, aku membonceng sepeda yang dikayuhnya, ke sekolah yang berjarak 3 km. Dia mengayuh hanya untuk mengantarku, setelah itu kembalilah dia menelusuri jalan yang sama. Tempatnya mengajar hanya berjarak 100m dari rumah. "Bu Guru bilang kalau mau ikut lomba senam harus bayar seragam tujuh ribu lima ratus rupiah." Dia diam saja. Masih tenggelam dalam Dunia Dalam Berita. Aku tertunduk. Meninggalkan brosur lomba senam di meja. Lalu pergi keluar, hari ini agendanya bermai

Pelitaku

Di duniaku, pelita abadiku hanya satu. Orang pertama yang memberikan cahaya kepadaku, bahkan yang mengenalkan kata "lampu." Ibuku. Sepertinya duniaku ada karena ibuku.  Aku bisa melihat cahaya, ibukulah yang berjasa. Aku berjalan di kegelapan, ibukulah yang membuka cahaya maafnya, lalu membimbing ke sinar yang tepat. Saat aku merasa putus asa, ibulah yang menjadi pelita harapan. Lampu hidupku, yang pertama dan abadi, itulah ibuku.

Omong Kosong

There is no way we can talk about music.  Tak mungkin memilih sebuah komposisi saja untuk menjadi soundtrack  hidup.  Musik adalah sebuah entitas yang terlalu luar biasa untuk bisa digambarkan dengan kata-kata: rumit, namun sederhana secara bersamaan. Dentuman lesung dan alu, tangisan bocah, siulan petani, komposisi klasik, sonata megah; ketika kita menarik nafas dalam-dalam, memejamkan mata, dan mencoba menyatu dalam gelombang suara niscaya musik akan terdengar. Berbicara mengenai musik hanyalah omong kosong belaka. Namun dunia tanpa musik jauh melebihi omong kosong. Saat membicarakan musik, aku merasa seperti makan kulit kacang. Karena keberadaannya bukan untuk diperdebatkan, tapi dicerna. Musik sudah ada dalam nadi. Dia mengalun menghibur ketika sejoli patah hati, berdentum riang saat pesta perayaan, mendayu trenyuh dalam pemakaman. Musik selalu ada. Musik selalu tahu. Musik menjadi latar setiap episode kehidupan manusia yang berganti-ganti setiap harinya, bahkan dalam lantunan doa.

Dia

Dalam kitab suci yang kuyakini tertulis kalimat problematis "berbahagialah mereka yang tidak melihat namun percaya." Problematis karena kalimat tersebut bertentangan dengan prinsip "jangan percaya sebelum kau melihat" dalam riset ilmu pengetahuan. Lalu mengapa Dia mengutus sang penulis kitab mencantumkan kata-kata itu? Lagi dan lagi, Dia memang Maha dalam segala hal, pun menjadi teka-teki juga Dia sempurna. Ke-maha-an teka-tekiNya menyiksa keterbatasan pemahaman manusiawiku setiap waktu.  Ratusan kali aku bertanya di saat kecewa menggempurku, benarkah Dia ada. Jikalau iya, mengapa orang-orang terbunuh dalam perang? Mengapa alam tertindas? Mengapa jalanku terjal bak karang?  Saat demikian, tak jarang kusebut namaNya bukan dalam syukur namun dalam umpat. Mengapa Dia tak terlihat? Mengapa mengapa ada?  Kala itu angin berhembus kencang. Tanah basah di jalanan gunung sepi itu. Aku tersungkur mencium aspal. Untuk beberapa saat kesadaranku hilang. Sepeda motorku tergolek s

Tempat Pulang

Pada masa kanak-kanak, tak mampu ku memejamkan mata tanpa suasana itu. Bau dinding yang mulai lapuk, pola kelinci hasil rembesan air hujan di eternit, cahaya lampu kuning lampu boros energi...kefamiliaran yang membuai. Saat anak-anak tetangga mengejek gigiku atau mengatai namaku, tempat itulah yang pertama kutuju. Membawa isakan tertahan, aku berlari mendapati suasana itu, ditambah rengkuhan hangat ayah dan ibuku. Ketika pubertas menguasaiku,  kefamiliaran itu mulai terasa menyesakkan, memenjara. Segala daya upaya aku lakukan demi tidak berada dalam kungkungan bangunan tua itu. Aku berharap menjadi burung bebas...lepas...terbang tanpa keharusan kembali ke kandang. Saat impianku terkabul, entah sejak kapan suasana yang memenjaraku berubah menjadi sebuah kemewahan. Kemewahan yang kurindukan. Tak lagi aku iri pada burung di udara, namun pada kura-kura dan cangkangnya, keong dan rumahnya, siput dan tempat tinggalnya. Betapapun menekan, kecil di sudut hatiku aku mensyukuri kesesakan ini. Ba

Perahu dan Fatamorgana

Panas. Mual. Keringat. Matahari. Semuanya bergoyang-goyang. Bahkan nafasku mulai berbau amis. Aku bernafas satu-satu. Putus-putus. Kenapa tak Kau bunuh saja aku? Terlemparkah aku kemari untuk mengecap derita di lautan takdir ini? Aku sudah lelah. Penat. Ruang ini terlalu sempit, pun terus berguncang tak membuaiku dengan nyaman. Untuk apa aku berlayar di dunia ini? Lalu pulau itu terlihat. Tersamarkan fatamorgana entah sejauh apa. Aku tak lagi peduli. Tak lagi mual. Tak lagi menghiraukan panggangan matahari ke kulitku. Yang ada hanya pulau itu. Oh...luar biasa. Hanya setitik pulau itu telah mengubahku. Lenyap sudah pertanyaanku. Pupus sudah kutukanku. Kini aku tahu, hidupku adalah untuk mencapai pulau itu. Dan pertama kalinya aku bersyukur, dalam ombak kefanaan ini, aku masih mendayung sebuah perahu.

Plester

Kata ibu, baik adanya kau menjadi kawan yang bagaikan plester. Plester mudah ditemukan, ada dimana-mana. Di toko kelontong pinggir jalan hingga toko obat mahal dalam pusat perbelanjaan mewah. Plester yang pertama terpikir ketika jari manismu teriris sembilu; menjadi pertolongan darurat penghenti darah, penutup luka kecil. Tapi kata ibu, plester tak mesti menyembuhkan. Ada harapan dia akan menutup luka kecil dengan sempurna, melindunginya dari kuman-kuman yang masuk, lalu merangsang sel-sel darah putih untuk membentuk fibrin dengan cepat hingga akhirnya luka itu pun sembuh. Namun, luka terlampau besar tentu di luar kuasanya. Plester hanya bisa menutupi dan melindungi borok itu dari kotoran, tak mampu menyembuhkannya. Pun lagi, plester kadang menyakiti. Begitu kuatnya hasratnya ingin melindungi, dia melekat erat, keras kepala tak mau lepas. Akibatnya, ketika dia harus terlepas, dia meninggalkan rasa perih tak terlupakan. Lalu dia pun dibuang meninggalkan luka yang sembuh atau setengah se

Ageha

Tuhan mengirim Ageha ke dunia berkendaraan sebuah telur dalam rahim ibunda. Sabar menunggu 9 bulan di dalamny, Ageha meresapi kasih yang dicurahkan padanya, kehangatan yang menyelimutinya. Setelah ibunda bertaruh nyawa membebaskannya dari kungkungan kulit telurnya, ia pun lahir ke dunia fana, tempat pencobaan pertamanya. Terseok dan terluka, terantuk dan tersiksa, Ageha menyesal telah meninggalkan cangkang telurnya yang hangat dan nyaman. "Ibunda, mengapa aku buruk rupa? Izinkan aku kembali terkungkung telur tanpa seorangpun mampu mengolokku." Ibunda tersenyum dan menghapus air matanya. "Kupu-kupu tak bisa hidup tanpa menjadi ulat, mata hatiku. Jadilah ulat yang bangga, dengan itulah sayapmu akan tumbuh mempesona." Sejak itu Ageha berubah menjadi ulat yang bangga. Menghadapi terpaan angin dan menepis pukulan dunia dengan berani, hingga mencapai titik keheningan dan kedamaian hati. Ia pun berubah menjadi kepompong. Bijak menjalani hari dan tenang menghadapi tantangan

Sepatuh Sepatu-Sepatuku

Tak ada hal sepatuh sepatu-sepatu. Patuh menjadi alas terinjak-injak. Patuh mengarungi aspal terik, lumpur lengket, tebing terjal, jalanan banjir...hingga lantai marmer mewah ataupun karpet merah. Patuh menjalani tugas dan nilai diri sebagai hadiah dari ibu karena rajin membantu, sebagai simbol kecantikan dan kekayaan sosialita megapolitan, menjadi lambang disiplin anak sekolahan, ataupun sebagai pelindung tangguh para pejuang di pertambangan. Saat melirik berpasang-pasang sepatuku di rak hampir ambruk itu, menatap dan melamuni nasib sepatu-sepatuku...alangkah bahagia bila aku hidup dalam filosofi sepatuku,yang...ah...mereka pun tak paham mereka punya itu. Menjadi berharga seberharga sepatu yang dirancang, dirakit, dan bernilai jual. Menjadi kesayangan yang dirawat, dicuci, dan dibanggakan pada kawan. Menebar bibit kebahagiaan sebagai trophy hasil usaha menabung, hadiah atas usaha berkompetisi, ataupun imbalan kejutan sebagai hadiah hadir. Terpenting, sepatu selalu patuh menjadi penjag

Wahai cermin ajaib di dinding, akulah yang tercantik

Gambar
Langit biru. Awan putih. Cermin bening. Bening sebening hatimu sebelum terkotori asap. Asap polusi hati. Ya, polutan " kata mereka " yang merecoki kebeningan hatimu. Kata mereka badanmu tak indah bentuknya, terlalu banyak gelembung tak diperlukan menempel. Kata mereka wajahmu bak permukaan rembulan, terjal tak rata kebanyakan bukit dan lembah. Kata mereka rambutmu kurang ini dan kulitmu kebanyakan itu; gigimu surplus nikotin-kafein dan matamu kehilangan sinar; perutmu mabuk lemak dan betismu jadi kabar buruk buat maling mangga depan rumah. Disingkat, kata mereka dirimu di depan cermin itu tak sempurna. Lantas? Ini mantraku: alih-alih menjadi racun, polutan "kata mereka" dapat diperlakukan seperti limbah terolah; yang bisa diproses dan dijadikan bahan daur ulang tepat guna. Tak perlu ditelan mentah-mentah, diolah. Tantang cerminmu itu sembari memoles ketaksempurnaan yang menjadi titik krisis percaya dirimu. Tak perlu usaha berlebih hingga merusak jati dirimu. Ber

Permintaan maaf pada hasrat menulisku

Pada saat hasrat menulisku mencapai klimaksnya, sekitar 3 bulan yang lalu, aku berjanji pada diriku sendiri akan menulis dan menulis...dan menulis. Sayangnya media menulis elektronik milikku tidak cukup praktis untuk dibawa bepergian. Akhirnya, organizer  ku-lah yang memanjakan keinginan menulisku. Ini itu, aku tulis di buku bersampul kulit hitam penuh dengan jadwal dan catatan perjalananku mulai awal tahun ini. Namun yang terjadi adalah... dalam sebuah misi pekerjaan, buku itu tiba-tiba hilang entah di mana. Kukutuk kecerobohanku dan kupeluk rasa kecewaku pada diriku sendiri.  Ide-ide ceritaku...jurnal perjalananku di Eropa...jadwal-jadwal...kenang-kenangan perjalananku. Lenyap. Sejuta maaf dari sudut cerobohku kusampaikan pada hasrat menulisku; meskipun itu tak cukup untuk menumbuhkan lagi pijar-pijar semangat menulisku. Namun satu kesempatan ini secara ajaib memanggilku. Setelah ini, selama 21 hari aku akan mencoba menyembuhkan kekecewaanku yang mendal