Tempat Pulang

Pada masa kanak-kanak, tak mampu ku memejamkan mata tanpa suasana itu. Bau dinding yang mulai lapuk, pola kelinci hasil rembesan air hujan di eternit, cahaya lampu kuning lampu boros energi...kefamiliaran yang membuai. Saat anak-anak tetangga mengejek gigiku atau mengatai namaku, tempat itulah yang pertama kutuju. Membawa isakan tertahan, aku berlari mendapati suasana itu, ditambah rengkuhan hangat ayah dan ibuku. Ketika pubertas menguasaiku,  kefamiliaran itu mulai terasa menyesakkan, memenjara. Segala daya upaya aku lakukan demi tidak berada dalam kungkungan bangunan tua itu. Aku berharap menjadi burung bebas...lepas...terbang tanpa keharusan kembali ke kandang.

Saat impianku terkabul, entah sejak kapan suasana yang memenjaraku berubah menjadi sebuah kemewahan. Kemewahan yang kurindukan. Tak lagi aku iri pada burung di udara, namun pada kura-kura dan cangkangnya, keong dan rumahnya, siput dan tempat tinggalnya. Betapapun menekan, kecil di sudut hatiku aku mensyukuri kesesakan ini. Banyak dari mereka tak mampu merasakan perasaan mewah bernama "ingin pulang," hanya karena mereka tak punya tempat untuk menaruh perasaan itu. Karena itulah aku beruntung. Di sela-sela kepakan sayapku, aku masih menyimpan secercah kedamaian akan tempat itu. Karena kebebasan yang sesungguhnya bukanlah kepakan tanpa batas dan waktu, namun ketentraman karena mempunyai tempat untuk pulang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang Menengok Rumput Tetangga

Graduated

Graduate Student