Bapak

"Sol sepatuku mangap. Dibilang buaya lapar sama teman-teman." Dia tak bereaksi, masih memandang lurus ke TV hitam putih, acara Dunia Dalam Berita yang wajib ditontonnya setiap hari. Aku tertunduk sedih. Meletakkan sepatu laparku di lantai, lalu pergi keluar, ikutan bermain kasti bersama anak-anak tetangga. Esok paginya, kutemukan sepatuku mengganjal meja dengan posisi ganjil. Kuambil sepatu itu, kukenakan tanpa kata-kata. Sepatuku tak lagi lapar, dia sudah makan selai nanas. Lem castol. Tanpa sepatah katapun, aku membonceng sepeda yang dikayuhnya, ke sekolah yang berjarak 3 km. Dia mengayuh hanya untuk mengantarku, setelah itu kembalilah dia menelusuri jalan yang sama. Tempatnya mengajar hanya berjarak 100m dari rumah.
"Bu Guru bilang kalau mau ikut lomba senam harus bayar seragam tujuh ribu lima ratus rupiah." Dia diam saja. Masih tenggelam dalam Dunia Dalam Berita. Aku tertunduk. Meninggalkan brosur lomba senam di meja. Lalu pergi keluar, hari ini agendanya bermain layang-layang, Heru mau meminjamkan layang-layangnya padaku. Esok harinya, ada uang tujuh ribu lima ratus, ditambah dua ratus lima puluh uang saku harianku, di atas meja. Lagi tanpa kata-kata, aku membonceng sepeda, ke sekolah.

Aku pernah ikut lomba senam, menggambar, mewarnai, deklamasi puisi, sajak, menari, karawitan, koor, pramuka, sepak bola putri,  siswa teladan, cerdas cermat, sampai olimpiade Biologi. Dia tak pernah hadir sekalipun, karena dia mengantarkan anak-anak orang lain ikut lomba juga. Setiap kali juga aku merasa iri pada kawan-kawanku, meradang, mengapa dia harus menjadi guru. Menerimakan rapor orang lain, sedangkan raporku selalu dititipkan tetangga. 
Sesalku saat ini yang tak pernah bersyukur...meski tak pernah hadir, dia tak pernah absen mengantar-jemput aku. Mulai dengan sepeda kayuhnya yang usang, hingga meningkat menjadi vespa butut bermasalah, hingga honda berumur berkali lipat umurku kala itu. Dia selalu mengantarku. Sifatnya memang pendiam, tapi tak pernah dia mengeluh mendengar ocehan tak pentingku tentang Bu Guru yang terlalu galak, atau teman-teman yang terlampau usil. Dia mendidikku untuk menjadi tegar, tangguh, dan mandiri.
Sifat manusia, tidak menghargai apa yang ada di depan mata, sebelum kehilangan apa yang dia punya.
Kini ketika dia sudah renta, terbaliklah semuanya. Mengantar ke dokter untuk pemeriksaan rutin atau menjemput setelah dia bersosialisasi dengan kawan seperti yang dia lakukan dulu untukku, berbalik menjadi tugasku. Dulu dia mampu melakukannya dalam diam yang khidmat dan ikhlas, kini aku sulit untuk tidak menggerutu. 
Sungguh, aku berharap aku yang dulu menjadi lebih gembira menjalani hariku...tanpa cercaanku padamu. Maaf ya, Bapak. Terima kasih dan sehat selalu.

Dek Arum. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang Menengok Rumput Tetangga

Graduated

Graduate Student