Perahu dan Fatamorgana

Panas. Mual. Keringat. Matahari. Semuanya bergoyang-goyang. Bahkan nafasku mulai berbau amis. Aku bernafas satu-satu. Putus-putus. Kenapa tak Kau bunuh saja aku? Terlemparkah aku kemari untuk mengecap derita di lautan takdir ini? Aku sudah lelah. Penat. Ruang ini terlalu sempit, pun terus berguncang tak membuaiku dengan nyaman. Untuk apa aku berlayar di dunia ini?

Lalu pulau itu terlihat. Tersamarkan fatamorgana entah sejauh apa. Aku tak lagi peduli. Tak lagi mual. Tak lagi menghiraukan panggangan matahari ke kulitku. Yang ada hanya pulau itu. Oh...luar biasa. Hanya setitik pulau itu telah mengubahku. Lenyap sudah pertanyaanku. Pupus sudah kutukanku. Kini aku tahu, hidupku adalah untuk mencapai pulau itu. Dan pertama kalinya aku bersyukur, dalam ombak kefanaan ini, aku masih mendayung sebuah perahu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang Menengok Rumput Tetangga

Graduated

Graduate Student