Suhu Ketegaran

Akhirnya aku menemukan sesosok guru yang sesungguhnya. Dia tak membawa buku, pun tak menulis di papan tulis. Dia hanya tertawa, bermain, dan menikmati hidupnya tanpa sesal. Mengamati kesehariannya bagaikan membaca setumpuk kitab, bergulung-gulung sutra, dan segudang buku pengembangan diri. 
Setiap pagi, dia bangun pagi lalu memasak; ala kadarnya. Nasi tak sampai seperiuk dan racikan daun yang kebetulan sedang tumbuh di kebun samping rumah. Disuguhkan masakannya bukan untuk dirinya, namun ayahnya yang terbaring lumpuh. Setelah menyuapi ayahnya, pergilah ia mengerjakan pekerjaannya yang utama hingga tengah hari. Seusai menyuapi makan siang untuk ayahnya, berangkatlah ia ke lokasi kerja sampingannya di pasar. Mengangkut barang-barang sambil bersiul-siul kecil. Jika beruntung, ia akan mendapat roti sisa, dibawanya roti itu pulang, dan membaginya dengan ayahnya. Tatkala malam tiba, ia membaca buku diterangi lampu minyak tak seberapa terang. Ia menolak kebodohan dan ketidaktahuan.

Orang bertanya padanya, menderitakah ia. Ia hanya tertawa dan berkata, tidak. "Aku menikmati diriku kini, dan aku akan lebih menikmati diriku nanti. Diriku sekarang yang kupersiapkan untuk diriku nanti." Yang lain bertanya adakah yang ia inginkan, jawabnya hanya satu, ibu. "Aku hanya ingin ibu pulang. Ibu tak perlu menderita, akulah yang akan bekerja untuk semuanya." Bilamanakah aku tak mampu belajar darinya. Hatinya gembira menghadapi hidupnya, meskipun hidupnya tidaklah mudah, meskipun ia hanyalah pelajar berusia 10 tahun saja. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang Menengok Rumput Tetangga

Graduated

Graduate Student