Aku dan Kakakku 1

Aku anak bungsu dari 3 bersaudara, kedua kakakku laki-laki.
Yang ingin aku ceritakan di sini adalah kakak pertamaku. Ada kurang lebih beberapa puluh alasan kenapa aku ingin menulis tentang dia. Sekali lagi, tentang dia. Ini bukan cerita tentang aku.
Karena banyaknya hal yang ingin aku ceritakan, mustahil menyelesaikannya hanya dalam satu post saja. Anggap saja ini sebuah memoir bersambung yang entah kapan akan berakhir, karena aku sendiri tak tahu batasan cerita ini.

Saat aku berusaha mengingat-ingat lagi, kenangan tentangnya berawal dari genting rumahku. Dalam bayanganku, umurku baru empat tahun.
Entah kenapa, itulah ingatan tertua yang mampu aku ingat tentang betapa uniknya kakakku ini.
Waktu itu aku belum mengerti dan menganggap kebiasaan kakakku yang suka memanjat tempat-tempat yang tinggi itu sangat lucu.
Waktu itu aku juga belum bisa bicara, jadi aku berpikir wajar saja kalau kakakku itu juga tidak berbicara apapun padaku, meskipun orang-orang dewasa di sekitarku selalu ribut mengobrol dan memuji-muji betapa lucunya aku (baiklah, mungkin ini sedikit berlebihan.)
Suatu hari, kakakku memanjat dinding rumah, sampai akhirnya dia mampu duduk di genting. Aku menyaksikannya dengan takjub dan, tentu saja, sebagai anak kecil cerdas yang memiliki tingkat keingintahuan yang tinggi, aku mencoba mengikutinya.
Namun setelah kuingat-ingat lagi, bukanlah keingintahuanku yang menarikku; tapi kepuasan yang terpancar dari teriakan kakakku waktu itulah yang memanggilku ke atap. 
Aku ingat, dia memanjat dengan gesit, mempertahankan mainannya di tangannya (yang tak bisa kuingat bentuknya), dan duduk dengan bangga di bagian reng atap.
Konon dia bernyanyi "aa..uu..aa..uu.." dan "unyi...unyi..unyi...unyu..."
Berbicarakah dia pada burung? angin? atau teman imajinernya? 
Saat itu aku tak peduli.
Aku hanya ingin menyusulnya, duduk di sisinya, dan bersama-sama dengan dia menikmati dunia seperti apa yang sebenarnya dia lihat dari atas sana.
Namun sayang, usahaku gagal.
Aku terpeleset pada usaha pertamaku memanjat tiang rumah dan aku menangis sejadinya.

Kakakku tetap di sana, duduk di atas genting dengan bangga.
Waktu itu aku berpikir, aku pasti akan duduk di sana juga suatu saat.
Dan baru sekarang aku sadar, kakakkulah yang mengajariku, bahwa memiliki sebuah tujuan bisa membuatmu kuat. 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang Menengok Rumput Tetangga

Graduated

Chatting about Color with an Imaginary Sightless Friend