Reserved (?) Seat, Is It (?)

Beberapa minggu yang lalu aku mengalami sebuah kecelakaan motor kecil.
Kecil, karena tidak ada kerusakan parah atau permanen yang diakibatkan oleh kecelakaan itu (walaupun aku masih penasaran kenapa rasa sakit di bahu kananku tidak kunjung hilang).
Aku orang yang cukup "bandel," sedikit mengenal trauma yang diakibatkan oleh jatuh atau terluka karena sesuatu. Aku juga cukup familiar dengan rasa sakit yang membuatku bisa bertahan dalam kondisi yang...yaah...bisa dibilang "cuma tergores."
Namun, ada satu yang tidak bisa aku tahan: sakit pikiran.
Ingat, ini bukan sakit hati, tapi "sakit pikiran."

Sakit pikiranku berkaitan dengan kejadian yang kualami setelah aku kecelakaan.
Dua hari setelah kecelakaan, aku berencana untuk pulang ke rumah. Jadi dari Jogja, aku naik kereta Prameks sampai Purwosari lalu ganti bus arah Semarang di halte Kerten. Rute biasaku kalau pulang, lah...

Kereta penuh..., biasa. Aku tidak mendapat tempat duduk..., biasa juga.
Yang tidak biasa adalah perban yang menempel pada bagian luar kaki kanan, siku kanan, dan jidat kananku; jalanku yang terpincang-pincang, dan bahu kananku yang setengah menggantung di dadaku.
Sekali liat orang pasti tahulah: ini orang agak-agak cacat.
Sakit pikiranku dimulai ketika aku (sialnya) berdiri di depan dua orang, pria dan wanita, yang sepertinya teman akrab sedang cekikikan bercerita, dan mereka duduk di kursi dengan lambang demikian:

Baiklaaahhh....
Tidak dipungkiri, aku "ngarep banget" itu kursi.
Oke, aku tidak menggunakan kruk, tapi bukan itu intinya bukan?
Ada empat kursi dengan lambang ini, keempat-empatnya diisi oleh orang-orang bukan dari kategori yang tertera di gambar.
Karena bahkan petugas kereta yang berseliweran tidak berinisiatif, apalagi penumpang lain yang juga berdiri di sekitarku dan lokasi itu.
Aku cinta damai. Damai di bumi, damai di hati, jadi aku pasrah ketika harus berdiri menggunakan kaki kiri sebagai tumpuan selama satu jam. Duduk di lantai? Lutut kananku sayangnya bengkak parah dan bertato lebam sehingga tidak mungkin mendapatkan posisi duduk yang nyaman di lantai, kecuali aku diizinkan berbaring tanpa diinterupsi.
Yang jadi masalah, pikiranku tidak bisa diajak berdamai.
Secara naluriah, aku mencari-cari masalah (maksudnya siapa yang salah).
Papan yang salah tempat? Penumpang salah kategori yang salah duduk? Petugas di dalam kereta yang terlalu tak acuh? Aku yang terlalu mengharap belas kasihan? Penurunan moral? Kurangnya pendidikan tentang tata krama dalam angkutan umum (mengingat kadang ada juga yang merokok di depan papan larangan merokok)?

Well, yang mana aja lah ya.
Yang jelas, itu bikin aku sakit pikiran. Dan dengan ini, sakit pikiranku kutularkan. Ringan deh... :)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang Menengok Rumput Tetangga

Graduated

Chatting about Color with an Imaginary Sightless Friend