Tentang Menengok Rumput Tetangga

Sebentar lagi saya ulang tahun. Ya, pokoknya sebentar lagi.

Entah di mana, saya pernah membaca bahwa pada saat bayi manusia membutuhkan tidur yang terbanyak, sekitar 16 jam. Semakin tua, jam tidur akan semakin berkurang. Itu katanya - ada penelitiannya dan sebagainya. Saya membaca artikel tersebut sambil lalu, tetapi saya mulai merasakannya, terutama akhir-akhir ini. Rasa-rasanya sulit sekali jatuh tertidur di malam hari.

"Pola makan kali... ", "Makanya olah raga dong...", "Doa, biar hati tenang...", "Ngitung domba coba...", "Aroma terapi...", "Musik-musik yoga..."

Kawanku... terima kasih masukannya, tetapi kenyataannya ngomong itu memang lebih gampang daripada melakukan dan merasakan. Yah, apa pun itu, yang jelas setiap malam sepertinya otak saya sibuk sekali - layaknya bocah yang berlarian dan jumpalitan ke sana ke mari tanpa tentu arah. Ini terapi terakhir yang beberapa waktu saya tinggalkan karena tidak ada waktu (baca: tidak niat dan malas) - menulis.

Sebenarnya saya cukup banyak menulis, tetapi tidak saya utarakan di blog. Jadi jika dirunut, unggahan terakhir saya adalah tahun 2017. Sekarang sudah 2021 - sungguh blog yang berdebu. Saat menulis pada tahun 2017, saya sudah lulus S2 (tepatnya 2016 sebenarnya). Setelah itu saya bekerja di sebuah proyek Pembangunan Masyarakat, kemudian bertunangan, lalu menikah, lalu merantau ke luar negeri, lalu kembali pulang lagi dan (berusaha) menjadi istri yang punya pekerjaan sambilan. Ya begitu, jalan hidup biasa saja yang dikemas dengan benang drama yang lumayan seru. 2020 apalagi, sepertinya semua manusia di dunia ini akan setuju bahwa 2020 adalah masa yang terseru. 2020 adalah titik balik kehidupan semua manusia di muka bumi, ketika semuanya berubah dan gaya hidup "baru" harus diterapkan. (Yeah, kids, I survived 2020!)

Menilik kembali apa yang sudah saya lalui dan capai, membuat saya secara tidak sadar menengok rumput tetangga. Ada saatnya saya merasa insecure tingkat dewa. Datangnya sporadis - terkadang pada saat saya sedang rebahan, saat makan tahu, atau saat duduk di toilet. Ini yang membuat saya sering susah tidur juga. Mungkin ini yang namanya quarter life crisis, ya. 

Simply put, a quarter-life crisis is a period of intense soul searching and stress occurring in your mid 20s to early 30s. The typical sufferer is “highly driven and smart, but struggling because they feel they’re not achieving their potential or feeling they’re falling behind." (Nathan Gehlert, Ph.D., a Washington D.C. psychologist).

Yah... katanya self-diagnosed berdasarkan googling itu bahaya, tetapi saya juga belum merasa butuh bantuan profesional sih, ya. Ada campuran perasaan yang sulit dijelaskan ketika keresahan saya diberi label demikian - ada rasa lega (karena setidaknya mengerti apa yang sedang saya alami), rasa tidak suka (mengapa ini harus terjadi), ada rasa ragu (ah, apa pentingnya ada label semacam ini), dan rasa ingin mengelak (tidak... tidak... saya baik-baik saja kok, saya cukup gembira dengan keadaan saya sekarang...), dan apatisme (ya terus? njuk ngopo gaess?).

Dari hasil mengobrol dengan kawan-kawan sejawat, ternyata saya memang tidak sendiri. Beberapa kawan merasakan hal serupa, dan pemicunya memang lirik-lirik rumput tetangga. Kami bersepakat bahwa sulit untuk tidak merasa berkecil hati mendengar kawan yang punya privilage sudah hidup mapan di bawah atap rumah atas namanya sendiri yang diberikan orang tuanya sebagai hadiah jawara kehidupan sementara kita terseok-seok membayar kos-kosan. Susah untuk tidak jealous ketika ada kawan yang bisnisnya sukses mendunia saat kita ditolak kerja di sana-sini. Wah, gaess kok dia bisa terbang di business class tapi kitanya kecipratan genangan air hujan dari mobil yang ugal-ugalan pas naik motoorrr... ngenezt gaess... Lalu, sulit untuk bersabar bahwa diperlukan waktu yang berbeda bagi masing-masing orang untuk bersinar.

Ya tetapi ini tidak terjadi setiap detik, setiap hari, setiap menghembuskan nafas to ya... hanya kadang-kadang saja. Namanya juga manusia, aneh kalau pikirannya positif bahagia senang gembira terus. Perasaan negatif ini tidak perlu selalu dibuat invalid dan dipaksa untuk pergi jauh-jauh. Seorang "guru" pernah mengatakan pada saya bahwa memeluk baik-baik perasaan negatif adalah jalan pengolahan batin orang dewasa. Tidak usah dibuat invalid - direngkuh, dan diolah saja, lalu temukan penyeimbang rasa itu.

Para optimis punya resep mujarab untuk rasa negatif ini, klasik kok ya: syukuri apa yang sudah kamu punya gaesss... nrimo ing pandum... Resep ini memang manjur untuk menyalakan kembali api harapan yang redup karena pikiran-pikiran negatif, dampak dari salah sudut saat melihat rumput tetangga. Supaya tetap hijau, sehat, dan indah dipandang, rumput juga perlu sesekali dipangkas agar akar-akarnya tetap mendapat sinar matahari - mungkin kita tidak pernah mendapati saat rumput itu perlu dipotong, proses menyakitkan yang juga dialami kawan-kawan objek iri dengki kita. Wang sinawang... 

Lha piye... rezeki orang MEMANG berbeda-beda, dan ujian orang juga bervariasi. Tidak adil juga ya, membanding-bandingkan diri saya dengan orang lain, kasihan saya dan orang lain itu. Intinya kembali ke kebijakan yang diwariskan dari dulu memang... bersyukur dan jadikan rasa iri tersebut motivasi untuk (setidaknya) bertahan, lalu berjuang lagi.

Sepertinya, prestasi orang baiknya diukur bukan dari seberapa cepat dan bagaimana cara orang meraih hal-hal yang bisa membuatnya tidur nyenyak, tetapi bagaimana orang bisa bangkit dari keterpurukan dan menghadapi 'setan' dalam dirinya sendiri.

Sebentar lagi saya ulang tahun, setidaknya sekarang saya bisa beli kue untuk diri saya sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Graduated

Chatting about Color with an Imaginary Sightless Friend