Aku dan Kakakku 2
“Kenapa
selalu dia?“
Ada
masanya pertanyaan ini selalu terlintas di kepalaku.
Dialah
yang nomor satu di mata orang tuaku.
Dialah
yang harus selalu
diutamakan.
Akulah
yang harus selalu
mengalah.
Akulah
yang perlu selalu
mendendam.
Semantara
dia? Dia dengan bahagia membangkang setiap perlakuan orang tuaku padanya.
Seperti
serigala mengibas-ibaskan ekornya di puncak bukit kala purnama. Tak
peduli.
Saat aku berusia 5 tahun,
aku memulai masa sekolah pertamaku di Taman Kanak-kanak. Jika aku ingat-ingat
lagi, pertanyaan ini selalu terlontar dari mulutku:
“Mas
Jarot kok nggak sekolah”
Dan ayah atau ibuku
menjawab:
“Mas Jarot ndak bisa
sekolah, sakit.”
Doktrin itulah yang selalu aku
pegang dan aku percayai. Kakakku sakit. Kakakku sakit sehingga tidak bisa masuk
sekolah.
Saat mencamkan kenyataan
itu, kakakku berlari-lari dengan riangnya, memainkan roda sepeda roda tiga yang
rusak, tepatnya dia mencoba merusaknya. Dia masih menyanyikan lagu favoritnya,
yang liriknya tidak lebih dari “unyi…unyi…unyi….”
“Sakit apanya?”
Kehidupan Taman
Kanak-kanakku luar biasa: aku termasuk siswa perempuan tertinggi dan terkuat,
menyebabkan aku menjadi anak sok jagoan dan sok galak. Jelas, banyak anak lain
yang takut kepadaku. Setelah aku ingat-ingat lagi, mungkin sikapku adalah salah
satu caraku untuk menutupi kelemahanku. Kenapa?
1.
Kakakku mendapatkan perhatian lebih. Dia tinggal di rumah bersama
seorang pembantu rumah tangga (yang aku lupa namany). Dia ditemani. Sementara
aku? Terdampar sendirian di bak pasir sekolah. Di sekolah, hampir semua anak
datang diantar dan ditemani mama atau pembantu mereka. Aku sendirian, miskin,
dan tidak memiliki bekal lucu seperti yang teman-temanku miliki.
2.
Setiap pagi kakakku menyerap 100% perhatian ibuku. Mulai dari mandi, memakai baju, makan, bermanja-manja sebentar,
dan lain-lain. Sementara aku? Mengikat rambutku pun ibuku tak sempat. Di
sekolah, hampir semua anak perempuan memiliki gaya rambut menakjubkan: air
mancur, berhiaskan jepit rambut berkarakter dan berwarna, atau dengan kepangan
rumit (hal ini juga yang nantinya membuatku benci menyisir rambut.)
3. Sepulang
sekolah, kakakku menyerap 100% perhatian ayahku. Vespa baru ayah, kendaraan
bermotor pertama di rumahku, mulai dikuasainya. Aku tak bisa mengingat sejak kapan kakakku begitu terikat
dengan Vespa itu. Setiap ayahku pulang dari sekolah tempat beliau mengajar,
kakakku-lah yang akan merengek-rengek sekenanya, meminta ayahku untuk
mengajakny berkeliling. Dia akan berjongkok di bagian depan Vespa, menuntut hak
jalan-jalannya (kebiasaan yang bahkan sampai sekarang masih terus berlangsung.)
4. Jika sempat, ayahku akan menjemputku di sekolah.
Biasanya, aku dititipkan ke tetangga, yang kebetulan anaknya adalah teman
sekelasku. Saat itulah teman-temanku mulai tahu keadaan kakakku. Mereka
menanyakan kenapa kakakku berjongkok di Vespa, kenapa kakakku tidak sekolah,
kenapa kakakku tidak bisa berbicara, dan kenapa kakakku terkadang tertawa tanpa
alasan yang jelas. Jawabku yakin: “Kakakku
sakit.” Tapi jawaban ini tidak membuat mereka puas
sepertiku.
Mulai dari detik itu, aku berusaha untuk mengalihkan
perhatian mereka dari fakta tentang keadaan kakakku dengan tingkah laku yang
mencerminkan superiority complex. Kakakku tidak aneh kok, dia cuma agak berbeda. Itu
adalah keyakinan teguhku waktu aku masih Taman Kanak-kanak. Namun, kontras
dengan keyakinan itu, aku membenci kakakku, saat itu.
“Eh, Arum dipethuk si ndodok meneh! (Eh, Arum dijemput
si jongkok lagi!) Ahahahahaha....”
Begitulah ejekan teman-temanku. Sakit. Malu. Kesal. Aku
diejek karena kakak yang aku benci.
Kakakku tentu saja tak mampu untuk peduli. Ejekan dan
tawa teman-temanku menjadi penghiburan luar biasa untuknya. Kebebasannya yang
terbatas, kesempatan untuk melihat dunia di sela-sela kungkungannya di rumah
membuatnya tak mampu melihat hal-hal buruk di sekelilingnya. Tentu saja aku tak
tahu apakah dia tahu bahwa dia dijadikan bahan olokan.
Saat itu aku tak bisa memikirkan hal ini.
Betapa tulus tawanya, menerima cemooh sebagai sebuah
sapaan ramah.
Betapa murni perasaannya, menyambut tawa mencela sebagai
sebuah ungkapan bersahabat.
Betapa bebas sikapnya, mengamini setiap penolakan sebagai
sebuah hak seseorang.
Saat itu
aku hanya bisa membencinya.
Membenci
bagaimana dia bisa begitu bebas tanpa beban,
meskipun
orang-orang di sekelilingnya mencibir dan mencaci,
sementara
aku harus menderita karenanya.
Komentar
Posting Komentar